Perjalanan ke Banyuwangi ini jauh sebelum badai pandemi Covid-19 melanda. Kita berdoa agar badai ini cepat berlalu dan vaksin cepat terdistribusi sehingga keadaan dapat normal kembali. Bumi Blambangan ini rupanya menyimpan banyak potensi wisata. Baik wisata alam, sejarah, budaya, hingga wisata religi dapat kita temukan di sini. Karena potensi yang luar biasa ini, tepatlah jika Banyuwangi menyandang sebutan “The Sunrise of Java”. Tidak sulit untuk ke kota ini. Salah satunya dengan pesawat terbang. Seperti saat itu, penerbangan pagi dengan maskapai Lion Air sengaja saya ambil dari Jakarta menuju Surabaya. Dari Surabaya, penerbangan dapat dilanjutkan dengan maskapai Wings Air yang melayani rute Surabaya-Banyuwangi setiap hari sekali terbang tepat jam 09.30 wib. Sekitar jam setengah sebelas pesawat Wings Air dengan mulus mendarat di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi. Dan perjalanan wisata merajut pesona kota ini dimulai.
Pura Agung Blambangan
Tak ingin membuang waktu, dalam perjalanan dari Bandara Blimbingsari bersama rekan yang menjemput di Bandara, kami langsung menuju salah satu Pura terbesar di Banyuwangi, bahkan Jawa Timur, yaitu Pura Agung Blambangan. Pura Agung Blambangan, awalnya merupakan situs umpak songo, peninggalan zaman kerajaan blambangan. Pura Agung Blambangan, terletak di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi.
Bagi umat Hindu yang sedang melakukan Tirta Yatra atau wisata spiritual ke tanah Jawa khususnya, Pura Agung Blambangan ini menjadi tujuan pertama sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke pura lainnya yang tersebar di pulau Jawa. Pura ini diresmikan tepat pada hari raya Kuningan, 28 Juni 1980 dan merupakan pura terbesar diantara 92 buah pura lainnya yang ada di Banyuwangi.
Kesan magis dan agung begitu terasa sejak memasuki area pelataran yang luasnya sekitar 1.375 m2. Begitu masuk ke area dalam kami mendapati beberapa bagian tempat pemujaan atau sembahyang umat Hindu. Salah satunya adalah Padmasana yang memiliki ketinggian sekitar 10,6 meter.
Klenteng Hoo Tong Bio
Dari Pura Agung Blambangan kami menyempatkan diri ke Klenteng Hoo Tong Bio. Klenteng ini terletak di Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Kota Banyuwangi, tepatnya di daerah pecinan, suatu wilayah dimana orang-orang Banyuwangi keturunan Tiongkok tinggal. Klenteng Hoo Tong Bio merupakan Klenteng tertua di wilayah Jawa Timur dan Bali. Nama Hoo Tong Bio memiliki arti “Kuil perlindungan warga Tiongkok”. Dikenal juga dengan sebutan Klenteng Banyuwangi.
Ada yang menarik perhatian saat mau masuk ke dalam kawasan klenteng yang didirikan sekitar tahun 1768-1784 ini. Yaitu pada bagian pintu gerbang utamanya yang terdapat relief dua ekor harimau putih. Berdirinya klenteng Hoo Tong Bio berkaitan dengan sejarah di Batavia. Pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Tiongkok oleh VOC di Batavia, seorang kapten kapal Tiongkok yang bernama Tan Hu Cin Jin dan anak buahnya nya memimpin pelarian. Dalam pelarian tersebut kapalnya terdampar di Banyuwangi. Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di Banyuwangi dan membangun klenteng tersebut. Untuk menghormati kebesaran sang kapten tersebut, akhirnya setiap hari ulang tahunnya, diperingati secara besar-besaran.
Rujak Soto
Selesai mengagumi klenteng tertua di Jawa Timur, karena didera rasa lapar kami pun memburu salah satu kuliner khas Banyuwangi yaitu rujak soto. Secara presentasi makanan ini memang sangat sederhana. Semangkuk rujak soto dengan kuah dominan warna coklat gelap serta beberapa potong daging sapi diatasnya di tambah kerupuk udang. Ternyata rujak soto ini merupakan paduan dari rujak petis dan soto daging. Karena penasaran saya pun melongok bagaimana membuatnya. Ternyata tidak jauh beda dengan membuat rujak cingur. Bumbu utama seperti gula merah, kacang goreng, garam, cabe rawit, dan tentu saja bumbu petis, semua diulek menjadi satu. Kemudian lontong, timun, tahu, tempe, kangkung dan tauge disiapkan di dalam mangkok dan disiram bumbu rujak tadi. Selanjutnya, campuran rujak yang dalam mangkuk tadi diguyur kuah soto dengan potongan daging yang cukup banyak sebagai pelengkapnya. Rasa khas rujak petis yang cukup “nendang” bercampur halus dengan kuah soto yang panas segar menjadi paduan yang sempurna sebagai pemuas selera.
Kawah Ijen Yang Keren
Puas menyantap rujak soto, kami langsung menuju hotel untuk istirahat memulihkan tenaga. Karena besoknya, dini hari, kami berencana mendaki Gunung Ijen yang terkenal keelokannya. Keindahan Kawah Ijen ini nyatanya menjadi tempat favorit wisatawan asing saat berkunjung ke Banyuwangi. Tentu saja termasuk wisatawan domestik. Gunung Ijen adalah sebuah gunung berapi aktif yang terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan ketinggian 2.443 mdpl. Sejarah mencatat gunung ini telah empat kali meletus (1796, 1817, 1913, dan 1936).
Kami berangkat sekitar pukul 24.00 wib dari pusat kota Banyuwangi. Waktu tempuh sampai ke Paltuding Ijen sekitar 45 menit berkendara dengan mobil. Saat ini perjalanan menuju Paltuding Ijen bukan hal sulit, hanya saja banyak jalur menanjak yang cukup berat. Sehingga sangat disarankan memakai mobil 4 WD atau double gardan. Setelah melewati rute yang berkelok-kelok dan menanjak, akhirnya kami sampai di Paltuding. Kami kembali memeriksa segala perlengkapan dan bekal agar tidak ada yang tertinggal. Kami sengaja mendaki dini hari karena ingin mengejar momen blue fire yang hanya ada dua di Dunia, salah satunya setelah Alaska, bisa kita jumpai di Gunung Ijen. Blue fire ini hanya bisa dilihat saat malam hingga dini hari dan akan berangsur menghilang seiring terbitnya matahari.
Jika tidak ingin memburu blue fire, sebenarnya waktu yang paling pas untuk mendaki dan menikmati pesona Gunung Ijen adalah jam 05.00 wib mulai berangkat dari Paltuding. Jarak yang harus ditempuh dari Paltuding sampai kawah sekitar tiga kilometer dengan waktu tempuh rata-rata dua jam. Itu sebabnya banyak wisatawan terutama domestik memilih berangkat pagi.
Pulau Merah Mulai Merekah
Tujuan wisata kami pada hari berikutnya adalah Pantai Pulau Merah. Pulau Merah yang berada di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pantai ini sekitar 80 kilometer arah selatan kota Banyuwangi. Jika ditempuh dengan mobil hanya sekitar satu setengah jam saja dari pusat kota. Jalan berliku yang tidak begitu lebar namun mulus menjadi pemandangan tersendiri selama perjalanan. Kiri kanan jalan selain sawah juga perkampungan penduduk yang masih asri mengiring laju mobil kami. Akhirnya, kami sampai juga di Pulau Merah. Dari kejauhan garis pantai terlihat dan debur ombak terdengar. Begitu keluar mobil, udara pantai yang khas seolah menyapa kedatangan kami. Pantai ini tidak jauh dari pemukiman penduduk, hanya terpisahkan oleh area luas yang ditumbuhi pohon-pohon rindang yang dibawahnya di jadikan tempat parkir kendaraan.
Sambil menenteng kamera, tak sabar rasanya ingin melahap semua keindahan yang ada di depan mata. Tanpa menunggu lebih lama, saya sudah menginjakkan kaki tepat di bibir pantai. Ya, hamparan pasir putih kecoklatan yang lembut membentang sekitar tiga kilometer. Paduan yang indah dengan birunya air laut penuh deburan ombak. Ok, ini sempurna! Banyak orang mengatakan suasana dan keindahan pantai Pulau Merah ini mirip dengan pantai Kuta tahun 70-an. Wah, saya sendiri tidak tahu bagaimana pantai Kuta tahun itu.
Deretan tenda payung berwarna merah juga putih seolah menjadi penghias hamparan pasir pantai, lengkap dengan meja dan kursi yang bebas dipakai oleh para pengunjung. Tentu saja setelah membayar sewa sekitar Rp. 20.000 per jam nya. Yang menjadi ciri khas dari pantai ini adalah adanya bentangan Pulau Merah dengan bukit setinggi sekitar 200 meter menjulang di laut. Saat air laut surut, kita bisa berjalan ke bukit tersebut. Namun perlu hati-hati karena adanya karang terjal di sekitarnya. Selain bukit tersebut, ke arah tengah laut banyak terdapat pulau-pulau karang kecil. Inilah yang menjadikan pantai Pulau Merah semakin eksotis.
Dan perjalanan ke Pulau Merah ini menutup rangkaian eksplorasi sebagian potensi wisata yang ada di Banyuwangi. Esoknya, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya hanya bisa bergumam, “Banyuwangi memang ngangeni.”