Meski arus modernisasi deras mengalir hingga relung-relung kehidupan. Hebatnya, penduduk desa ini tetap mempertahankan adat, budaya serta tradisi secara turun-temurun hingga saat ini. Kampung Sasak Sade akhirnya menuai buah manis, semanis senyum masyarakatnya menyambut para wisatawan yang berkunjung.
Perjalanan ini jauh sebelum badai pandemik Covid-19 melanda negeri kita. Semoga cepat berlalu dan dengan mulai didistribusikannya vaksin untuk covid-19 ini kehidupan masyarakat kembali normal. Jadi, para traveller dapat kembali mengatur perjalanan. Ok, kembali ke kampung Sasak Sade yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah ini merupakan salah satu desa yang menjaga tradisi Suku Sasak hingga saat ini. Tidak tergiur dengan derasnya kemajuan teknologi dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Mereka tetap hidup dalam kesederhanaan dan kearifan lokal. Sebenarnya di pulau Lombok ada beberapa desa lagi yang masih mempertahankan tradisi suku Sasak selain desa Sade, yaitu desa Bayan. Namun demikian yang sering dikunjungi para wisatawan adalah Desa Sade, Rembitan karena lokasinya yang cukup dekat dengan pusat kota Mataram.
Apalagi dengan mulai beroperasinya Bandara Internasional Lombok Praya, menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat desa Sade ini. Bagaimana tidak, bandara baru ini hanya berjarak sekitar 10 km atau hanya 15 menit perjalanan dengan mobil. Akses jalannya pun meski tidak terlalu lebar tapi sudah tertutup aspal yang sangat mulus. Tentu saja kemudahan dan kedekatan ini memberi peluang bagi para wisatawan untuk langsung berkunjung begitu tiba di Pulau Lombok. Seperti kami saat itu berkunjung ke desa ini, hanya bedanya bukan saat tiba di Pulau Lombok melainkan saat kami akan meninggalkan Pulau Lombok. Karena dekat dengan bandara, jadi kami pun tidak takut akan ketinggalan pesawat.
Begitu tiba di area parkir tepat di seberang jalan masuk desa Sade, senyum ramah seorang pemandu wisata lokal menyambut kedatangan kami. Ya, tentu saja setelah kami menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari pusat kota Mataram dengan bis. Ada yang menarik selama perjalanan menuju desa adat ini. Di sepanjang kiri kanan jalan rumah-rumah penduduk sudah bisa dikatakan merupakan bangunan dengan dinding batu bata dan beratapkan genting. Ya, sudah modern lah. Namun saat sampai di Desa Sade, suasana sangat berbeda. Kami mendapati rumah dengan dinding dari anyaman bambu dan beratapkan daun alang-alang kering. Rumah khas suku Sasak, suku asli Pulau Lombok.
Oleh pemandu wisata tadi kami dikumpulkan di pelataran utama kampung ini tepatnya setelah melewati gapura utama. Tak lama kemudian sang pemandu mulai memainkan perannya. Begitu piawai menjelaskan seluk beluk desa ini. Baik dari sisi budaya, adat hingga jumlah warganya pun hafal di luar kepala. Ya, jelas piawai lah soalnya dia kan penduduk asli kampung Sade ini, bukan pemandu cabutan dari tempat lain. Menurutnya, di kampung Sade ini terdapat sekitar 150 rumah dengan jumlah jiwa tidak kurang dari 700 orang. Tidak begitu besar memang, tapi cukup menarik untuk dijadikan destinasi wisata. Mengingat perkampungan adat seperti ini sudah mulai langka.
Ada yang menarik dari salah satu tradisi Sasak Sade ini. Yaitu saat hendak melamar seorang gadis untuk dijadikan istri. Dimana seorang laki-laki harus menculik gadis tersebut dan disembunyikan hingga pihak keluarganya tidak tahu keberadaannya. Karena jika seorang laki-laki datang melamar sebagaimana layaknya tradisi lamaran di daerah lain, malah dianggap tidak menghargai dan tidak tahu adat. Wah! Lamanya menculik dan menyembunyikan pun tidak bisa ditentukan. Bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Hingga pada satu saat yang dianggap tepat, utusan dari pihak laki-laki datang ke keluarga si gadis untuk memberitahukan keberadaannya dan membicarakan perihal lamaran dan rencana perkawinan. Tentu saja setelah kata mufakat dicapai oleh kedua belah pihak. Unik juga!
Setelah mendengarkan penjelasan singkat dari pemandu tersebut, kamipun dipersilahkan berkeliling. Ya, menyusuri lorong-lorong sempit diantara rumah dengan suasana tradisional yang sangat khas menjadi pengalaman menarik. Bukan hanya itu, kami pun bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat. Merasakan suasana keramahan dalam adat dan budaya yang sudah tentu berbeda. Diantara rumah-rumah tersebut ada satu bangunan yang cukup unik dan menonjol sehingga menjadi ikon di kampung ini. Seperti rumah panggung dengan atap melengkung terbuat dari alang-alang yang dikeringkan disusun menjadi tumpukan yang sangat tebal. Di bawah bangunan ini bisa digunakan untuk duduk-duduk berkumpul sesama warga. Di bagian atas hanya terdapat satu pintu yang tidak begitu lebar. Bangunan unik ini adalah lumbung padi. Tempat untuk menyimpan padi hasil panen warga kampung Sasak Sade ini. Dan lumbung padi ini dikelola secara bersama sehingga tidak ada kekhawatiran terjadi kelaparan.
Sebagian besar mata pencaharian para pria di kampung Sade ini adalah petani. Namun karena kampung ini berubah menjadi desa wisata, sebagian prianya beralih profesi menjadi pemandu wisata lokal. Sementara para wanitanya sebagian besar memiliki keahlian memintal dan menenun kain tenun khas suku Sasak. Keahlian ini diperoleh secara turun-temurun dari para leluhur mereka. Jadi tidaklah heran saat kami menyusuri pesona kampung ini bisa dikatakan hampir seluruh rumah menjajakan souvenir khas Lombok seperti kain tenun, kaos, gantungan kunci, patung, kalung, gelang hingga lukisan. Dan sebagian besar penjualnya adalah para wanita. Dengan senyum ramah mereka menawarkan barang dagangannya. Mereka hanya menggantungkan lipatan-lipatan kain tersebut pada sususan bilah-bilah kayu atau bambu di depan rumah. O ya, jangan lupa untuk menawar jika ingin mendapatkan harga yang bagus. Karena para pedagang ini terkadang menawarkan barang dagangannya dengan harga cukup tinggi. Dan biasanya setelah menyebut harga yang ditawarkan mereka langsung meralat sendiri dengan berucap,”Harga ini masih bisa ditawar kok, jadi mau kain yang mana? Mau nawar berapa?”. Kalau kita pintar menawar ya pasti dapat harga bagus.
Asyiknya lagi kita bisa melihat secara langsung mereka menenun kain khas Sasak dengan alat tenun tradisional. Kebanyakan membuat selendang khas bertuliskan “Lombok”. Sambil berjalan menyusuri lorong-lorong kampung Sade ini, pemandu wisata tadi terus menjelaskan seputar budaya kampung halamannya ini. Salah satu tradisi yang menarik lainnya adalah cara mereka membersihkan lantai rumah. Seperti biasanya, pastilah kita juga mengepel lantai di rumah bahkan ditambah pewangi agar lantai bersih dan harum. Namun apa yang dilakukan masyarakat kampung ini sangatlah berbeda. Mereka membersihkan lantai rumah dengan kotoran sapi atau kerbau setidaknya sekali sebulan. Wah! Meski demikian jangan berpikir bahwa rumah-rumah di sini bakal bau tak sedap. Nyatanya tidak! Bahkan menurut mereka cara ini selain membuat lantai mengkilat, juga dapat mengusir lalat. Selain itu lantai akan menjadi dingin saat kemarau dan bisa memberi efek hangat saat udara dingin.
Memang harus diakui berwisata model begini sangat berbeda dengan jenis wisata lainnya. Ya mungkin ke candi, pantai atau gunung sekalipun. Dengan berkeliling dari rumah ke rumah dan berinteraksi langsung dengan penduduk asli dalam keseharian mereka menjadikan pengalaman unik, menarik sekaligus memberi pelajaran langsung tentang arti sebuah kehidupan. Tidaklah sia-sia semua warga kampung ini tetap mempertahankan adat dan budaya dalam nilai-nilai kearifan lokal hingga saat ini. Terbukti mereka mulai menuai buah manis dengan datangnya para turis baik lokal maupun mancanegara berkunjung ke kampung mereka. Tentu kejadiannya akan berbeda jika warga disini tidak peduli dengan budaya mereka dan mulai terpengaruh dengan budaya luar. Saking asyiknya berkeliling, tak terasa rupanya sudah dua jam kami menikmati pesona kampung Sasak Sade yang tetap kuat dalam balutan adat dan budaya yang masih dipegang teguh hingga sekarang. Akhirnya, di tempat yang sama waktu kami datang yaitu di pelataran utama kampung ini, kepulangan kamipun dilepas dengan senyum sang pemandu beserta beberapa warga yang turut menemaninya.