“Empat penari kian kemari. Jalan berlenggang, aduh. Sungguh jenaka tari mereka, Gambang Semarang”. Sepenggal lirik lagu keroncong yang berjudul Gambang Semarang ini seakan menjadi ucapan selamat datang saat pertama menjejakkan kaki di Kota Semarang. Irama mendayu tersebut terasa meningkahi suasana cukup ramai di sebuah lobi hotel di kawasan Simpang Lima, tempat saya menginap selama di Semarang. Kali ini, selain menghadiri beberapa rapat bisnis, karena memang Semarang sangat cocok menjadi destinasi MICE (Meetings, incentives, conferences, and exhibitions), tentu saja mengunjungi beberapa tempat wisata yang menarik di kota ini.
Salah satu tempat yang sangat ingin saya kunjungi adalah kawasan Kota Lama. Setelah proses check in selesai dan barang bawaan sudah rapi di kamar, tanpa membuang waktu sayapun langsung meluncur ke kawasan Kota Lama. “Pak kalau mau ke Kota Lama enaknya bapak turun di Kantor Pos Besar. Nah, dari situ bapak bisa berjalan kaki melihat-lihat kawasan tersebut,” saran sopir taksi yang mengantar saya. Rupanya hanya beberapa menit dari kawasan Simpang Lima akhirnya gedung tua yang difungsikan sebagai Kantor Pos Besar Semarang sudah di depan mata.
Dari sinilah awal kekaguman saya akan pesona kawasan Kota Lama. Kemegahan arsitektur Eropa di masa lalu terpancar indah melalui gedung-gedung kuno yang berdiri kokoh sepanjang kaki melangkah. Puas mengabadikan gedung Kantor Pos, dengan berjalan kaki saya mulai menyusuri pesona Kota Lama. Dalam setiap jengkal langkah seolah saya ditarik oleh mesin waktu ke masa beberapa ratus tahun lalu. Kiri kanan jalan berdiri gedung-gedung tua peninggalan kejayaan VOC saat bercokol di Semarang. Ya, dari hasil googling di dunia maya, sejarahnya bermula dari penandatangan perjanjian antara Kerajaan Mataram dan VOC pada 15 Januari 1678. Saat itu Amangkurat II menyerahkan Semarang ke VOC sebagai pembayaran karena VOC telah berhasil membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo. Kemudian kota ini dibangun oleh VOC, termasuk membangun sebuah benteng bernama Vijfhoek yang digunakan sebagai tempat tinggal warga Belanda dan pusat militer. Seiring perkembangannya tak hanya rumah-rumah warga, gedung pemerintahan dan perkantoran juga didirikan. Dan di sekitar kawasan kota ini dibangun kanal-kanal air yang mengelilinginya sehingga seakan kawasan ini terpisah dari lanskap kota. Hal inilah yang menyebabkan Kota Lama mendapat julukan sebagai Little Netherland. Kanal yang mengelilinginya menjadikan Kota Lama seperti miniatur Belanda di Semarang.
Sekarang beberapa gedung tua ini masih difungsikan menjadi kantor, rumah makan, tempat ibadah, gudang, pabrik, dan tentu saja rumah tinggal. Sementara masih banyak gedung yang dibiarkan kosong. Satu bangunan yang paling populer dikunjungi adalah Gereja Blenduk yang sudah berusia lebih dari dua setengah abad. Gereja yang memiliki nama asli Nederlandsch Indische Kerk dan masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga kini menjadi landmark Kota Semarang. Gedung megah yang didominasi warna putih ini memiliki atap berbentuk kubah berawarna merah bata serta dua menara kembar di bagian depan. Karena bentuk kubah inilah maka warga sekitar menyebutnya dengan nama Gereja Blenduk. Di depan gereja berdiri megah gedung kuno yang dijadikan kantor Jiwasraya. Tepat di sampingnya terdapat restoran Ikan Bakar Cianjur dan Warung Sate & Gule Kambing 29 yang sudah berjualan sejak tahun 60-an.
Menyusuri lorong-lorong kawasan Kota Lama ini menjadi pengalaman yang sangat menarik. Beberapa gedung lainnya yang menarik untuk diabadikan dalam bidikan kamera antara lain, Gedung Marabunta, Gedung Marba, Pabrik Rokok Praoe Lajar, Stasiun Tawang, Gedung Samudera Indonesia, Djakarta Lloyd, dan masih banyak lagi. Mengingat udara di Semarang cukup panas, sebaiknya berkeliling di kawasan ini pagi atau sore hari dengan berjalan kaki atau naik motor. (Teks & Foto: Ristiyono)