Cantiknya hamparan lautan awan yang luas menjadi sebagian kecil dari pesona milik Dewi Anjani. Kedamaian pun merasuk ke relung hati seiring mata memandang, dan Dewi Anjani telah membawaku ke istananya. Banyak orang bilang bahwa Rinjani adalah surganya para pendaki.

Ada kabar gembira buat para pecinta gunung, terutama yang ingin menjejakkan kaki di Gunung Rinjani. Kini Rinjani akan kembali dibuka. Sehubungan dengan rencana pembukaan kembali kunjungan wisata alam baik itu pendakian maupun non pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani pada 1 April 2021, aplikasi booking online eRinjani sudah dapat diakses pada 25 Maret 2021.

Pendakian dapat dilakukan maksimal 3 hari 2 malam dengan kuota 50% dari kuota kunjungan normal. Jalur pendakian Senaru kuota 75 orang/ hari, jalur pendakian Sembalun kuota 75 orang/ hari, jalur pendakian Timbanuh kuota 50 orang/ hari, dan jalur pendakian Aik Berik kuota 50 orang/ hari.

Selain itu, Balai TN Gunung Rinjani membuka 2 jalur pendakian baru, yaitu jalur pendakian Torean dan Tete Batu. Kuota pengunjung kedua jalur tersebut masing-masing 30 orang/ hari dengan waktu maksimal pendakian 3 hari 2 malam.

Jadi, yang sudah kangen berat dengan Rinjani sudah bisa terobati. Tapi jangan lupa untuk membawa ampahnya turun kembali dan patuhi SOP serta aturan yang berlaku.

SEMBALUN

Desa Sembalun yang berada di ketinggian 1.156 m dpl menjadi titik awal saya bersama teman-teman memulai pendakian. Desa terakhir sebelum memulai pendakian ini namanya merupakan gabungan dari kata sembah dan alun (kepala). Di sini, awan yang mengapung terlihat begitu dekat. Selain itu, jajaran bukit yang mengelilingi Desa Sembalun melengkapi indahnya panorama sekeliling.

Dari tempat bermalam, kami menggunakan mobil bak terbuka menuju kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Gapura bertuliskan ‘Selamat Datang di Taman Nasional Gunung Rinjani’ menjadi awal pendakian kami menyusuri istana Dewi Anjani.

Teriknya matahari tak menghalangi langkah kaki untuk terus melangkah. Gunung Rinjani yang cantik seakan memanggil dari kejauhan memberi semangat. Beberapa bukit yang cenderung masih mudah didaki dengan hamparan savana yang menguning menemani saya selama kurang lebih tiga jam hingga sampai di pos pertama. Dan di pos dua yang jaraknya cukup dekat, kami bersantap siang untuk kembali mengisi tenaga.

Selanjutnya, medan yang dilalui semakin berat dengan kondisi terus menanjak. Langkah kaki pun semakin melambat. Berbeda jauh kondisinya dengan para porter yang tetap cepat melintasi berbagai medan dengan bawaannya yang berat. Hebatnya lagi, mereka hanya beralaskan sendal jepit.

Bekas aliran lahar Rinjani pun kini turut mengiringi jalur pendakian yang semakin menanjak di sisi kanan. Sebuah panorama yang membuat saya semakin mengagumi kecantikan milik Dewi Anjani. Kecantikan tersebut turut membawa kaki ini melangkah hingga saung pos tiga yang berada sejajar dengan bekas aliran lahar.

 

7 BUKIT PENYESALAN

Nah, mulai dari pos tiga inilah ujian berat pertama dari Dewi Anjani dimulai. Jalanan menanjak nan terjal telah menanti. Belum satu bukit dilalui, kaki ini sudah sering kali terdiam meminta istirahat. Selesai satu bukit didaki, bukit selanjutnya sudah menanti di hadapan mata. Tidak ada “bonus” berupa trek lurus di sini. Saya pun terus melangkahkan kaki untuk menaiki bukit demi bukit.

Kondisi trek yang demikian membuat kami terpisah satu dengan yang lainnya. Semakin lama kaki pun terasa semakin berat untuk melangkah. Para pendaki yang hendak turun selalu memberikan semangat saat kami berpapasan. “Semangat! Tinggal dua bukit lagi mas…”. Kata-kata tersebut cukup bisa menambah semangat saya untuk terus maju.

Inilah alasan mengapa dinamakan tujuh bukit penyesalan. Nafas dan fisik sudah hampir habis, sementara masih ada beberapa bukit lagi untuk didaki. Jadi mau naik masih jauh, mau kembali pun jauh. Sebuah ujian yang cukup berat bagi para pendaki.

Bukit terakhir ini terlihat yang paling terjal dibanding bukit-bukit sebelumnya. Plawangan Sembalun, tempat kami akan bertenda berada di puncak bukit ini.

PLAWANGAN SEMBALUN

Saat malam hari, embusan angin cukup kencang menambah udara semakin dingin. Dengan mengenakan double jaket tebal, saya terduduk menikmati indahnya taburan bintang yang berkilauan.

Pukul enam pagi, saya sudah menantikan sang surya menyinari Plawangan Sembalun. Langit pun mulai kemerahan. Sang surya akhirnya memperlihatkan sinarnya dari balik lautan awan tebal sekitar pukul 06.30. Terasa lebih lambat memang, mungkin posisi kami yang berada di atas awan membuatnya terlambat bersinar. Cahayanya memberikan kehangatan diantara tiupan angin kencang.

Hari ini jadwal kami adalah beristirahat dan menikmati pesona yang ditampilkan Dewi Anjani. Dari sini, saya pun bisa melihat kaldera dengan luas 3.500 m x 4.800 m memanjang ke arah timur dan barat, termasuk Segara Anak seluas 11.000.000 m persegi dengan kedalaman 230 m. Di sisi timur kaldera terdapat Gunung Barujari yang memiliki kawah berukuran 170 m x 200 m dengan ketinggian 2.296-2376 m dpl.

Menjelang sang surya meninggalkan peraduannya, saya sudah berada di atas sebuah bukit untuk mengagumi keindahan di sekeliling. Seiring tenggelamnya matahari, langit pun mulai menunjukkan ronanya. Di atas gulungan awan tebal yang bagaikan ombak, muncul warna pelangi yang didominasi jingga. Dan dalam hitungan menit, lautan awan ini dengan indahnya ‘menyapu’ daratan Plawangan Sembalun yang dipenuhi tenda dan pendaki. Inilah salah satu pemandangan terindah bagi saya yang hanya bisa dinikmati dalam hitungan menit bahkan detik. Pemandangan indah lainnya tentunya di malam hari dengan taburan bintang dengan milky way-nya yang mengagumkan dan juga hanya bisa dinikmati dalam hitungan menit.

MENGGAPAI PUNCAK

Pukul 23.00 alarm berbunyi, tandanya kami harus bangun dan bersiap untuk summit attack. Setelah mengisi perut dan membawa perlengkapan, kami pun langsung berangkat. Berbekal headlamp sebagai sumber penerangan, kami pun mulai mendaki menyusuri jalan berpasir. Jalan sempit dan menanjak yang hanya dibatasi bebatuan serta tanah hingga sampai di bibir kawah. Angin pun mulai terasa bertiup kencang.

Selanjutnya harus ekstra hati-hati karena harus meniti di bibir kawah dengan margin pas-pasan disertai medan pasir, batu, dan tanah. Kaki pun mulai terasa berat untuk melangkah, selain trek yang sempit, jalur ini pula menjadi pertemuan angin kencang dari cekungan sisi kiri dan kanan. Hampir setiap bertemu batu besar, saya beristirahat sejenak. Karena hanya dengan berlindung dibalik batu besarlah saya bisa terlindungi dari hembusan angin kencang.

Akhirnya saya tiba di 200 meter ketinggian terakhir, yang dilihat dari kejauhan membentuk huruf ‘E’. Inilah ujian terberat dari Dewi Anjani bagi pendaki yang hendak menggapai puncak istananya. Trek ini benar-benar harus ditempuh dengan perjuangan lebih. Satu langkah maju bisa diikuti setengah langkah turun bahkan lebih karena terperosok pasir disertai kerikil.

Disini saya benar-benar merasakan sulitnya menggapai puncak istana Dewi Anjani. Niat dan semangat yang berkobar dalam dada ini rasanya masih belum cukup, dibutuhkan kekuatan fisik yang prima. Hanya satu dua langkah saja yang saya tempuh sebelum terdiam sejenak mengumpulkan tenaga kembali. Akhirnya mentari pun mulai menunjukkan sinarnya, dan saya masih berada di tengah-tengah jalur ‘E’ ini. Sambil menyaksikan keindahan alam ini, saya pun terduduk beristirahat. Setelah terdiam mengagumi karya Sang Pencipta ini, saya pun kembali berjuang menuju puncak.

Akhirnya dengan stamina yang tersisa, kesabaran, semangat, dan dorongan dari teman-teman pendaki, saya pun bisa sampai di puncak Rinjani. Salah satu teman saya pun menyambut dengan memberikan pelukan selamat. Di saat itu pula, air mata haru mengalir membasahi pipi.

Beratnya medan yang telah dilalui dan usaha keras ini terbayar dengan pemandangan yang begitu indah. Gunung Agung di Bali dan Gunung Tambora di Sumbawa terlihat jelas dari sini. Selain itu, Segara Anak melengkapi keindahan ini di bagian bawah. Rasanya saya sedang berada jauh di atas awan dan memandangi pesona alam di bawahnya. Begitu damai. Dari ketinggian ini pula, terlihat teman-teman pendaki yang masih berjuang untuk menggapai puncak Rinjani. Tidak terlalu lama kami menghabiskan waktu disini. Kondisi puncak yang tidak terlalu luas membuat kami harus bergantian dengan teman-teman pendaki lain yang baru tiba. Rasanya tidak terlalu membutuhkan tenaga ekstra dan perjuangan lebih saat menuruninya. Tanaman Edelweis pun kini terlihat jelas tersebar di sepanjang perjalanan menuju puncak.

Kami pun menghabiskan satu malam lagi di Plawangan Sembalun. Melihat kondisi teman-teman sehabis summit attack, kami pun memutuskan tidak turun ke Segara Anak. Jalur kembali pun sama ke arah Sembalun, mengingat kondisi jalur Senaru yang sedang rawan saat itu.

Tiga hari dua malam menyusuri kecantikan Dewi Anjani ternyata masih sangat kurang, masih banyak tempat indah lainnya yang tidak sempat saya jajaki. Rasanya Dewi Anjani masih memanggil untuk kembali mendatanginya, menikmati kecantikan-kecantikan lain yang dimilikinya. Dan selepas meninggalkan Rinjani, kecantikannya benar-benar melekat di hati dan rindu untuk kembali.