masjid-Aceh-2

“Penumpang yang terhormat sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Kencangkan sabuk pengaman, tegakkan sandaran kursi…”, suara merdu awak kabin membangunkan tidurku setelah sekitar 2,5 jam menempuh  perjalanan bersama Lion Air dengan pesawat baru Boeing 737-900 ER dari Jakarta.

 

Sesaat kemudian pesawat dengan nomor penerbangan JT 304 mendarat dengan mulus. Udara siang itu cukup bersahabat saat keluar dari bandara. Mobil penjemput sudah menunggu di depan, tak berapa lama kami sudah meluncur di jalanan aspal yang mulus. Memang semenjak tragedi bencana tsunami beberapa tahun silam, Banda Aceh saat ini sudah berbenah dan hampir bisa dikatakan tidak ada jalan berlobang di kota ini. Ini yang ketiga kali saya berkunjung ke Banda Aceh dan selalu saja ada yang baru. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan di Aceh terus berkembang. Kalau kunjungan yang lalu disela-sela tugas kantor saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat seperti Masjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami, Kapal Apung PLTD, Kapal korban tsunami yang masih bertengger di atas rumah penduduk, pemandangan pantai nan indah di Lhok Nga, Lampuuk dan pantai Ujung Batee hingga singgah sejenak di rumah peninggalan Cut Nyak Dien. Kali ini saya mengajak kita semua untuk mengeksplor kenikmatan kuliner khas Tanah Rencong. Hmm…petualangan kulinerpun dimulai…

ayam-tangkap-2

Sensasi Ayam Tangkap di Aceh Rayeuk

Dalam perjalanan dari bandara menuju pusat kota rasa lapar mendera, maklumlah karena sudah jamnya makan. Nah, kebetulan di jalan itu tepatnya di daerah Lueng Bata ada restoran yang menyajikan makanan khas Aceh. Pucuk dicinta ulampun tiba, tanpa basa-basi kamipun langsung meluncur ke Aceh Rayeuk. Ada yang menarik perhatian saat membaca deretan menunya, Ayam Tangkap namanya. Wah, makanan apa ini? Beribu pertanyaanpun berseliweran di kepala. Jangan-jangan begitu ada yang pesan, ayamnya baru ditangkap dan diolah? Atau jangan-jangan yang pesan menu ini harus kejar ayamnya sampai ketangkap baru diolah? Wah! Kalau kita mesti ngejar ayam dulu, bisa-bisa menikmati makanan ini sambil ngos-ngosan!

Jangan kuatir, Ayam Tangkap ini memang benar dari ayam kampung muda yang masih hidup dipotong kecil-kecil kemudian digoreng bareng dengan daun temurui, daun pandan, bawang merah dan cabai hijau utuh serta beberapa bumbu lainnya. Melihat presentasi menu ini seolah seperti seonggok sampah daun kering, itu sebabnya ada juga yang menyebutnya “Ayam Sampah”. Tapi jangan terkecoh dengan presentasinya, karena begitu daging ayam mendarat di mulut bisa dipastikan tidak akan berhenti sampai semua yang ada di piring ludes. Sensasi rasa dedaunan yang digoreng garing dan renyah terasa pas dengan gurihnya daging ayam.

Beberapa menu lain yang wajib dicoba di Aceh Rayeuk ini antara lain, Gulai khas Aceh berupa daging sapi dan nangka muda yang dimasak di kuali besar (biasanya dimasak di depan restoran) disajikan panas-panas, Ikan Kayu atau disebut Keumamah, Sayur Plie’u merupakan sayur khas Aceh juga yang berisi daun melinjo, biji melinjo dan kulit sapi dengan kuah santan. Acara santap semakin mantap dengan sambal udang dan ditutup dengan es ketimun yang diserut.

Razali

Sensasi Pedas Mie Kepiting RAZALI  

Sensasi rasa mie Aceh yang begitu kesohor dan menjadi buah bibir para penikmat kuliner membuat kami melangkah ke Mie Razali yang berada di jalan Panglima Polim, Peunayong. Warung mie yang sudah berdiri sejak 1967 ini kebetulan berada dekat Hotel Sultan tempat kami menginap. Begitu dapat tempat duduk, saya langsung memesan menu spesial, mie rebus dengan isi kepiting. Dari cara masak dan penyajiannya terbagi menjadi tiga yang bisa kita pilih: mie rebus, mie goreng dan mie goreng basah (bahasa jawanya mie “nyemek”). Sementara untuk isinya kita bisa pilih: udang, daging, kepiting, jamur, cumi-cumi atau bisa juga gabungan dari beberapa pilihan tersebut.

Tidak lama kemudian sepiring mie rebus dihidangkan. Buat saya ini porsi besar, mie kuning yang menimbun seekor kepiting cukup besar diantara kuah yang berwarna kemerahan. Rasa pedas segar dengan letupan rempah khas Aceh mendarat di mulut pada suapan pertama. Terbukti bukan omong kosong soal sensasi rasa mie Aceh ini, benar-benar yummy! Rasa gurih daging kepiting segar turut menimpali nikmatnya makan malam kami. Mie rebus ini semakin nikmat disantap dengan pendampingnya yaitu emping dan acar. Malam itu kami tutup dengan segelas jus terong Belanda.

Kopi Solong-low

Tak Cukup Hanya Secangkir Kopi

Bukan rahasia lagi kalau kopi Aceh memang nikmat. Budaya “ngupi” sudah begitu mengakar di tengah masyarakat Aceh. Jadi jangan heran jika banyak ditemui warung kopi disini. Dan pada jam-jam tertentu hampir semua warung kopi di kota ini dipadati pengunjung bahkan seperti hajatan saja karena saking ramainya. Salah satu yang wajib dikunjungi adalah di kawasan Ulee Kareng. Disini kami menyeruput kopi di warung kopi Solong “Jasa Ayah” yang begitu legendaris.

Di warung yang sederhana ini kami bisa melihat secara langsung seorang barista (peracik kopi) tradisional sibuk melayani pesanan. Dengan kepiawainnya meramu bubuk kopi dengan air mendidih kemudian disaring dengan saringan kain yang cukup unik bentuknya. Kopi tadi dituang di dua cangkir besar berganti-gantian kemudian disaring dengan cara mengangkat saringannya sampai di atas kepala dan kucuran air kopi masuk tepat di deretan gelas di atas meja. Mirip dengan proses pembuatan teh tarik. Buat saya ini menjadi tontonan yang menarik sembari menyeruput segelas kopi hitam.

Menurut sang empunya semua proses pengolahan dilakukan sendiri. Mulai dari pemilihan biji kopi mentah kemudian memanggangnya dengan cara tradisional hingga menggiling dan mengemasnya. Biji kopi yang dipakai dari jenis kopi robusta murni tanpa campuran. Warung kopi ini sudah berdiri sejak 1974 dan sudah memiliki beberapa cabang. Setelah mencoba segelas kopi hitam sayapun memesan lagi segelas kopi sanger (kopi susu). Benar saja baik kopi hitam maupun kopi susu sama-sama nikmat. Buat saya, tak cukup hanya secangkir kopi saja. Pulangnya, kami memborong bubuk kopi dalam kemasan plastik sebagai oleh-oleh.

ule lheue-4

Melepas Senja di Ulee Lheue

Kita tentu masih ingat dengan bencana tsunami beberapa tahun lalu yang menghancurkan Aceh. Ulee Lheue merupakan salah satu gampong (desa) yang porak-poranda diterjang bencana tersebut. Terletak di ujung barat Banda Aceh, tepat dipinggir laut. Namun seiring dengan berjalannya waktu, daerah yang dulu kumuh dan porak-poranda sekarang menjadi kawasan wisata yang indah dan asri. Pelabuhan penyebrangan berdiri cukup megah dan taman-taman disekitar jalan tertata rapi dan indah. Saat ini kawasan Ulee Lheue menjadi salah satu kawasan favorit untuk bercengkerama bersama keluarga pun teman sambil melepas matahari masuk keperaduannya. Sinar lembayung senja terpantul begitu sempurna  di laut bak kaca di sore hari. Saat menjelang senja, di sepanjang jalan ini banyak penjual jagung bakar membuka lapaknya. Dengan menyediakan meja dan kursi yang ditaruh di atas trotoar mereka menunggu pembeli. Duduk-duduk di sepanjang bantaran pantai, menikmati jagung bakar maupun jajanan yang lainnya terasa semakin nikmat diantara hembusan angin pantai berselimutkan rona mentari di kala senja. Memang pesona negeri Serambi Mekkah ini begitu menggoda… (Teks & Foto: Ristiyono)